Kesenian tradisional
wayang kulit lahir, hidup, tumbuh, berkembang terutama dalam masyarakat Jawa.
Lebih dari sekadar pertunjukan, wayang kulit dahulu merupakan media permenungan
menuju roh spiritual para dewa.
Istilah
“wayang” sendiri berasal dari kata “ma Hyang”, yang berarti menuju
spiritualitas Sang Kuasa. Tapi ada juga yang mengatakan “wayang” berasal
dari teknik pertunjukan yang
mengandalkan bayangan (bayang/wayang) di layar.
Wayang
kulit, terbuat dari kulit kerbau, diyakini sebagai embrio dari berbagai jenis
wayang yang ada saat ini. Ia dimainkan seorang dalang; diiringi musik gamelan
yang dimainkan sekelompok nayaga (pemain gamelan) dan tembang yang dinyanyikan
para pesinden. Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai simbol dan makna
filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu
mengajarkan budi pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil
terkadang diselipkan kritik sosial dan peran lucu lewat adegan goro-goro.
Wayang kulit
memiliki sejarah panjang. Catatan tertua tentang wayang kulit atau wayang purwa
tersua dalam Prasasti Kuti bertarikh 840 M dari Joho, Sidoarjo, Jawa Timur.
Prasasti ini menyebut kata haringgit atau dalang. “Haringgit adalah bentuk
halus dari kata ringgit. Kata ini sampai sekarang masih ada dalam bahasa Jawa,
yang berarti wayang,” catat Timbul Haryono, guru besar arkeologi Universitas
Gadjah Mada, dalam “Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur”
termuat di 100 Tahun Pasca Pemugaran Candi Borobudur.
Pada masa
itu, dalang memimpin dan memainkan pertunjukan wayang di lingkungan istana.
Arkeolog Dyah W. Dewi dalam “Kesenian Wayang Pada Masa Jawa Kuno dan
Persebarannya di Asia” menyebut pertunjukan wayang mempunyai arti khusus.
“Sehubungan dengan diselenggarakannya suatu upacara untuk memperingati suatu
kejadian,” catat Dyah, termuat di Pertemuan Arkeologi V.
Sebagian
ahli pewayangan, semisal R.M. Mangkudimedja, menduga bentuk awal wayang tak
seperti sekarang. Dulu wayang hanya tampak bagian depannya. Bahan dasar
pembuatan wayang pun berbeda dari sekarang. Dulu wayang terbuat dari daun
lontar, bukan kulit hewan ternak seperti sekarang.
Tapi
selingkar ahli arkeologi lainnya membantah dugaan R.M. Mangkudimedja. Contohnya
Soedarso Sp. Dia meyakini wayang sudah terbuat dari kulit. Dia mendasarkan
pandangannya pada isi Kakawin Arjunawiwaha anggitan Mpu Kanwa bertarikh 1036 M.
Tentang
lakon dalam pertunjukan wayang kulit periode awal, hanya Prasasti Wukajani dari
zaman pemerintahan Raja Mataram bernama Dyah Balitung (907 M) yang menyebutnya
cukup jelas. Prasasti Wukajani menyebut mawayang bwat hyang atau pertunjukan
wayang dengan lakon Bima Kumara. Kisah ini sempalan dari wiracarita Mahabharata
yang bertutur tentang kegilaan Kicaka pada Drupadi.
Keterangan
tentang wayang kulit termaktub pula pada relief di candi-candi Jawa Timur abad
ke-10 seperti Candi Surawana, Candi Jago, Candi Tigawangi, dan Candi Panataran.
Kehadiran wayang kulit dalam relief candi di tiga tempat berbeda menunjukkan
kesenian ini telah menyebar ke berbagai wilayah.
Perkembangan
wayang kulit memasuki babak baru pada masa kesultanan Islam. Wayang kulit tak
lagi eksklusif milik lingkungan istana. Para pendakwah Islam di Jawa membawa
wayang kulit ke masyarakat akar rumput. Mereka juga mengubah bentuk-bentuk
wayang agar sejalan dengan ajaran Islam dan tujuan dakwah. Beberapa pendakwah
Islam itu juga seorang dalang yang andal. Yang paling terkenal adalah Sunan
Kalijaga
Lakon dalam
pertunjukan wayang kulit masa Islam masih mengambil kisah-kisah dari
Mahabharata. Tapi pendakwah Islam memasukkan beberapa istilah dan tokoh baru
dalam lakon-lakon itu. Antara lain empat tokoh lucu yang dikenal sebagai
panakawan: Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng.
Kedatangan
orang-orang Eropa ke Nusantara ikut memberi warna baru bagi wayang kulit. Para
penyebar agama Katolik dari Sarikat Jesuit pada masa kolonial mengikuti jejak
pendakwah Islam dalam menggunakan wayang kulit sebagai media penyebaran agama.
Meski wayang
kulit di sejumlah wilayah begitu terbuka terhadap sentuhan baru, wayang kulit
di Yogyakarta dan Surakarta masih mempertahankan model pakem. Artinya, pedalang
di sana membuat sejumlah ketentuan tentang pementasan wayang kulit. Mulai
bentuk wayang, lakon, tokoh-tokohnya, sampai peralatan teknis lainnya. Pakem
mereka merujuk pada pementasan wayang kulit masa Mataram Kuna.
Sejak
kemerdekaan, Indonesia memiliki sejumlah sekolah tinggi dengan jurusan
pedalangan. Dari lembaga inilah, kemungkinan baru terhadap pengembangan wayang
kulit bergulir. Pementasan wayang kulit beberapa kali keluar pakem. Seperti
lakon cerita, tokoh, dan hal teknis pemakaian layar digital serta teknologi
terbaru.
Meski wayang
kulit kini tampil dalam beragam wajah, pertunjukan ini tetap memikat dan
lestari. Masing-masing tipe pertunjukan punya penggemarnya. Orang-orang dari
negeri jauh pun rela datang ke Indonesia untuk mempelajari sejarah dan
bentuk-bentuk pertunjukan wayang kulit untuk kemudian digulirkan dalam bentuk
baru di negara mereka masing-masing.
Wayang kulit
lahir, tumbuh, hidup di Indonesia, kemudian menyebar ke penjuru dunia. Tidak
salah jika Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco) menetapkan wayang kulit sebagai warisan
budaya dunia dari Indonesia. Sumber berita dari indonesiakaya.com